Senin, 09 Januari 2012

apabila hadits itu sahih maka itu mazhabku


Apabila Hadits itu Shahih Maka itu Madzhabku

Bismillah .... Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa ada sebagian kaum Muslimin yang "curang dalam dakwah", mereka mengutip perkatan Imam Madzhab untuk membenarkan pendapat mereka sendiri (ulama mereka) kemudian menulis artikel-artikel yang menjatuhkan dan menghina pengikut Madzhab termasuk pengikut Madzhab Syafi'i. Mereka (mengenai mereka sudah bukan rahasia lagi) mengutip perkataan Imam Syafi'i, kemudian disalah pahami untuk menyerang pengikut Madzhab Syafi'i. Salah satu perkataan Imam Syafi'i yang sering dimanfaatkan untuk kepentingan "dakwah curang" mereka adalah perkataan mengenai hadits shahih dan Madzhab. Memang benar bahwa Imam Syafi'i pernah mengatakan,


إذا صح الحديث فهو مذهبي
"Jika suaatu hadits shahih maka itulah madzhabku"

 dan juga,

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
Jika kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallahu 'alayhi wa sallam, maka berkatalah dengan SunnahRasulullah itu dan tinggalkan perkataanku itu"

 Akan tetapi banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan ini. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang bertentangan dengan pendapat madzhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat madzhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah madzhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah madzhab Syafi’i.

 Al-Imam Nawawi menyebutkan dalam Majmu’ Syarh Al Muhadzab, bahwa pendapat beliau tidak keluar dari Sunnah, kecuali hanya sebagian kecil. Ini memang terjadi di beberapa masalah, seperti masalah tatswib dalam adzan shubuh (bacaan ashalatu khoirum min annaum), Imam Syafi’i memakruhkan hal itu dalam qoul jadidnya. Akan tetapi para ulama madzhab Syafi’i memilih sunnahnya tatswib, karena hadits shahih mendasari amalan itu.

 Akan tetapi tidak bisa sembarang orang mengatakan demikian. Al-Imam Nawawi menyebutkan beberapa syarat. “Sesungguhnya untuk hal ini, dibutuhkan seseorang yang memiliki tingkatan sebagai mujtahid dalam madzhab yang telah dijelaskan sebelumnya, dan dan ia harus berbaik sangka bahwa Imam Syafi’i belum sampai kepada hadits tersebut, atau belum mengetahui keshahihan hadits itu, dan ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang telah menela’ah semua kitab-kitab milik Imam Syafi’i dan kitab-kitab para sahabat yang mengambil darinya, dan syarat ini sulit, serta sedikit orang yang sampai pada tingkatan ini. Syarat ini kami sebutkan karena, Imam Syafi’i tidak mengamalkan dhahir hadits yang telah beliau ketahui, akan tetapi ada dalil lain yang mencacatkan hadits itu, atau yang menasakh hadits itu, atau yang mentakhish atau yang menta’wilkan hadits itu”.

 Pernah ada seorang bermadzhab Syafi’i, Abu Walid Musa bin Abi Jarud mengatakan:” Hadits tentang berbukanya orang yang membekam maupun yang dibekam shahih, maka aku mengatakan bahwa Syafi’I telah mengatakan: “Orang yang berbekam dan dibekam telah berbuka (batal)”. Maka para ulama Syafi’i mengkritik pendapat itu, karena Imam Syafi’I sendiri mengatahui bahwa hadits itu shahih, akan tetapi beliau meninggalkannya, karena beliau memiliki hujjah bahwa hadits itu mansukh””.

 asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan madzhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu. Akan tetapi jika tidak sampai derajat itu dan mereka yang menentang tidak pula memiliki jawaban yang memuaskan, maka jika itu diamalkan oleh mujtahid madzhab lain, boleh ia melakukan, dan itu adalah sebuah udzur dimana ia meninggalkan salah satu pendapat madzhab Imamnya”. Imam Nawawi mengatakan bahwa yang dikatakan Syeikh Abu Amru ini merupakan perkataan yang cukup baik.

 Semoga bisa memberikan pencerahan mengenai isu-isu yang selama disebarkan oleh beberapa kalangan yang sama sekali jauh dari kriteria Mujtahid.

Dinukil dari Muqadimah Al Majmu Syarh Al Muhadzab (1/99-100), Terbitan Dar Al Fikr 1426 H, Tahqiq Dr. Mahmud Math

Tidak ada komentar:

Posting Komentar